Tutup Kampung” Jelang Pilkada Jadi Ancaman Bagi Paslon Lain Bisa Telantarkan Warga Desa
Kadang aksi dan gelagat tim sukses berlebihan. Tim sukses pasangan calon (paslon) bupati dan wakil bupati menutup kampung, agar paslon lain tidak melakukan sosialisasi. Kondisi ini menjadi ancaman, jika paslon lain terpilih. Warga yang menghuni kampung tersebut bisa ditelantarkan lima tahun ke depan.
Pendapat ini dikemukakan akademisi Universitas Atma Jaya Jakarta, Benyamin Mali kepada wartawan, Sabtu (11/8/24).
Dikatakan, pemilihan kepala daerah (Pilkada) tidak sama dengan pemilihan legislatif (Pileg). Sehingga, setiap desa atau kampung menutup wilayah agar tidak dikunjungi calon anggota legislatif lain untuk bersosialisasi dan kampanye. Pileg memilih wakil rakyat yang menjadi utusan dari kampung, desa dan daerah pemilihan. Sedangkan, Pilkada memilih pemimpin yang akan melayani semua warga di seluruh wilayah kabupaten yang dipimpinnya.
“Sehingga, kalau kampung itu ditutup dan hanya untuk paslon dari kampung itu, ini kondisi yang akan menjadi ancaman bagi paslon lain yang terpilih bisa menelantarkan warga kampung tersebut lima tahun masa kepemimpinanya,” kata Benyamin sambil menambahkan gelagat tim sukses paslon tertentu yang menutup desanya untuk paslon lain untuk mengadakan sosialisasi sebagai pelajaran berharga tentang kedalaman pengertian masyarakat tentang demokrasi dan Pilkada.
Tentang demokrasi, kata Benyamin dipahami sebagai “demo-crazy”, dimana kekuasaan atau kedaulatan rakyat berubah rupa menjadi “kesewenangan sekelompok rakyat”. Sekelompok rakyat yang menganggap diri sebagai penentu kemenangan dalam Pilkada sewenang-wenang berbuat supaya memenangkan paslon jagoannya dengan menutup kampung dan desanya kepada paslon lain. Paslon lain tidak boleh bersosialisasi dan berkampanye di kampung tersebut. Kampung dan desanya hanya untuk paslon jagoannya.
“Yang lain mohon minggir teratur. Masyarakat di kampung dan desa itu dikerahkan untuk memantau di setiap sudut kampung agar tim sukses dari paslon tidak boleh masuk untuk bersosialisasi dan berkampanye.
Keluarga-keluarga dilarang datang berkumpul, disuruh pergi ke sawah dan kebun, kalau toh ada rencana dari paslon lain untuk datang bersosialisasi,” terang Benyamin dan menegaskan makna demo-crazy yang sesungguhnya dilabrak oleh tim sukses yang sewenang-wenang berbuat untuk memenangkan jagoannya.
Berkaitan dengan Pilkada, katanya diperoleh pelajaran tentang ketidaktahuan masyarakat akan perbedaannya dengan Pileg untuk memilih wakil-wakil rakyat. Pilkada dilaksanakan untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota. Untuk pileg, tutup kampung dapat dimengerti dan diterima. Itu wajar kalau kampung dan desa tertentu ditutup oleh rakyat setempat bagi calon yang bukan berasal dari kampung dan desanya. Karena, warga menginginkan kampung dan desa itu memiliki seorang wakil yang menjabat DPRD kabupaten.
Berbeda dengan Pilkada, yang dilaksanakan untuk memilih bupati dan wakil bupati. Bupati dan wakil bupati bukan wakil rakyat di DPRD. Wilayah sosialisasi dan kampanyenya mencakup seluruh wilayah kabupaten, tidak terbatas pada satu kampung, desa dan daerah pemilihan tertentu. Karena, bupati dan wakil bupati akan memimpin di seluruh wilayah kabupaten.
Menurutnya, salah besar yang melabrak aturan jika tim sukses paslon tertentu menutup kampung dan desa bagi paslon lain. “Saya tidak tahu persis apakah praktik seperti ini mempunyai konsekuensi hukumnya. Tetapi minimal mempunyai konsekuensi psikologis dalam melakoni peran sebagai bupati dan wakil bupati di kemudian hari, jika paslon lain memenangkan Pilkada, bukan paslon jagoannya. Jika paslon yang ditolak itu yang memenangkan Pilkada, maka selama lima tahun, kampung dan desa itu bisa-bisa diterlantarkan. Bila demikian yang terjadi, siapa mau help, demikian Benyamin. (tim)